Firasat Buruk Sebelum Berangkat
Malam itu, langit tampak berat. Angin bertiup pelan, membawa aroma lembap dari hujan sore yang belum kering sempurna.
Tami berdiri di depan rumahnya sambil menenteng ransel.
“Ibu, aku berangkat dulu ya,” katanya riang.
Ibunya, yang sedari tadi duduk di teras, menatapnya lama. “Kamu yakin berangkat malam-malam, Tam? Ibu nggak enak hati, tahu.”
Tami tertawa, “Ah, Ibu kayak sinetron aja. Cuma ke pantai, bukan ke hutan.”
Tapi tatapan sang ibu tak berubah.
“Saya sebelum kalian berangkat, saya udah punya feeling, Tam. Ini anak kalau pulang pasti ada apa-apa.”
Kalimat itu menggantung di udara seperti kutukan lembut yang tak sengaja diucapkan.
Gangguan Pertama di Jalan
Sekitar jam 9 malam, mobil Avanza abu-abu yang mereka tumpangi mulai melaju meninggalkan kota.
“Wah, perjalanan malam, vibes-nya seru banget,” kata Dinda, menyalakan musik dari ponselnya.
Namun, baru dua jam jalan, radiator mobil mendadak panas. Uap keluar dari kap depan.
“Gila, ini mobil baru diservis, lho,” gerutu Farhan, sambil membuka kap.
“Kayaknya nggak beres, deh. Tadi waktu jalan juga mesin kayak berat,” tambah Reza.
Mereka terpaksa berhenti beberapa kali di pinggir jalan, memeriksa radiator, dan menunggu dingin.
Tami menatap keluar jendela. Jalanan sepi, hanya suara jangkrik dari semak. “Kok sunyi banget, ya…” gumamnya.
Tak ada yang menjawab.
Penampakan Pertama di Tengah Hutan
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari ketika mereka memasuki kawasan hutan kecil sebelum pantai.
Pohon-pohon menjulang, menciptakan bayangan panjang di bawah cahaya lampu mobil.
Dan di sanalah Tami melihatnya.
Sosok anak kecil berdiri di tepi jalan — baju putih, celana batik, tanpa ekspresi.
“Far… Farhan, itu… anak kecil ya?” bisik Tami, suaranya nyaris tak terdengar.
Farhan menoleh, “Mana?”
“Di pinggir jalan tadi—”
“Ah, kamu halu. Anak kecil jam segini?”
Tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimat, Dinda menepuk bahunya pelan.
“Tadi aku lihat juga. Tapi bukan anak kecil. Kakek-kakek. Jalannya aneh banget, kayak melayang.”
Mobil mendadak sunyi. Hanya deru mesin yang terdengar, pelan dan berat.
Beberapa menit kemudian, Tami menahan napas.
“Din… aku lihat lagi. Anak itu. Sama, baju putih, celana batik. Tapi sekarang dia nengok ke aku.”
Dinda menggenggam tangannya erat-erat. “Jangan dilihat. Jangan dilihat, Tam.”
Jembatan Rusak dan Anak Kucing
Setelah subuh, mereka memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, mobil melintasi jembatan rusak.
Di sana, seekor anak kucing kecil duduk di tengah jalan, mengeong lirih.
“Kasian banget, kita bawa aja, ya?” kata Dinda.
Farhan menggeleng cepat. “Udah, jangan aneh-aneh. Kita nggak tahu itu kucing siapa.”
“Tapi kasian, Han. Lihat, dia gemeteran.”
“Udah taruh di ruko depan aja, nanti juga ada yang ambil,” jawab Farhan tegas.
Akhirnya, setelah perdebatan kecil, mereka meninggalkan kucing itu.
Namun, begitu mobil bergerak, Tami tiba-tiba berkata pelan, “Din… kayak ada yang ketinggalan.”
Dinda menatapnya. “Maksudmu?”
“Entah. Rasanya… kayak ada yang manggil dari belakang.”
Farhan kesal. “Udah ah, Tam. Dari tadi ngomong aneh mulu. Fokus aja ke jalan!”
Tapi Tami terus menatap kaca spion, dan di sana — sekilas — ia melihat bayangan kecil berlari di belakang mobil.
Teror di Dalam Mobil
Sekitar satu jam kemudian, Dinda tiba-tiba menangis histeris.
“Din! Lo kenapa?” tanya Reza panik.
Dinda hanya menatap kosong ke arah jendela, lalu dengan suara berat berkata,
“Kalian ninggalin aku… tiga kali aku minta tolong…”
Farhan langsung menepi. “Astaga, dia kesurupan!”
Mereka mencoba menghubungi ayah Dinda lewat video call, membaca doa sebisanya. Tapi tak lama, Tami juga ikut tersungkur, napasnya berat.
“Tam, sadar, Tam!” teriak Reza.
Namun yang menjawab adalah suara lain — pelan, serak, seperti suara anak kecil:
“Dia di sini…”
Suasana berubah mencekam. Farhan perlahan menoleh ke depan — dan di balik kaca mobil, terlihat sosok anak kecil itu, tersenyum samar, berdiri tepat di depan kap mobil.
Sosok yang Tak Mau Pergi
Setelah mereka berhasil pulang, gangguan belum berhenti.
Bayi di rumah Tami terus menangis setiap malam. Kadang ibunya mendengar langkah kecil dari arah kamar anaknya.
Akhirnya mereka memanggil seorang ustaz bernama Pak E.
Setelah ritual singkat, Pak E berkata, “Ada dua sosok yang ikut kamu, Tam. Anak kecil dari Banten dan sosok hitam dari tempat kerja kamu.”
Saat kesurupan lagi, Tami berbicara dengan suara lirih, “Aku minta tolong tiga kali, tapi nggak ada yang denger.”
Semua terdiam.
Pak E lalu memanggil arwah itu, dan suara anak kecil terdengar dari tubuh Tami:
“Aku sayang sama mbaknya. Aku nggak mau pergi…”
Pak E menatap tajam, “Kalau kamu sayang, jangan ganggu dia lagi. Tapi kalau kamu makhluk Allah, pulanglah ke tempatmu.”
Tangisan lirih terdengar.
Setelah beberapa kali doa dibacakan, Tami tersadar dengan tubuh lemas.