Di sebuah desa kecil di lereng pegunungan, ada sebuah sungai yang mengalir tenang di siang hari, tapi menyimpan suara-suara aneh di malam hari.
Warga menyebutnya Sungai Petung, dinamai dari rumpun bambu besar yang tumbuh di sepanjang tepinya.
Bagi orang-orang tua di sana, sungai itu bukan tempat biasa. Mereka percaya, di dasar airnya tinggal roh seorang kakek tua, mantan penjaga sungai yang meninggal karena tenggelam bertahun-tahun lalu.
Suatu sore, aku memutuskan memancing di Sungai Petung — tempat yang kata orang angker itu.
Ibu: “Jangan ke sungai waktu senja, No. Orang dulu bilang, ada penunggunya.”
Beno (tertawa): “Ah, Bu, itu cuma cerita orang tua.”
Aku membawa pancing, rokok, dan bekal mie instan. Langit sore itu berwarna oranye pucat, angin lembut berhembus dari arah hutan.
Ketika aku sampai di tepi sungai, suasananya tenang. Hanya suara gemericik air dan sesekali burung di kejauhan.
Air tampak jernih, tapi di dalamnya terasa dalam dan gelap.
Beberapa kali, aku merasa seperti ada sesuatu yang menyentuh kaki.
Beno (berbisik): “Mungkin cuma ikan...”
Matahari perlahan tenggelam. Kabut tipis mulai turun dari arah hutan bambu.
Aku baru sadar, aku sudah duduk di sana lebih dari dua jam — tapi tak satu pun ikan menggigit umpanku.
Lalu, tiba-tiba... ada suara.
Suara orang batuk parau di seberang sungai.
Aku menoleh. Di antara kabut, tampak seorang kakek berdiri di pinggir air, memegang pancing bambu panjang.
Tubuhnya kurus, rambutnya putih panjang, pakaiannya lusuh. Tapi anehnya — aku tidak mendengar langkahnya sama sekali.
Kakek: “Banyak yang datang ke sini... tapi sedikit yang pulang.”
Beno: “Eh... Kakek juga mancing ya?”
Kakek: “Heh... aku bukan mancing ikan. Aku mancing jiwa yang sombong.”
Sungai yang tadinya beriak kini diam — diam total.
Airnya berubah keruh seperti darah.
Kakek itu berjalan mendekat, tapi langkahnya tidak menimbulkan suara di air.
Ia berdiri tepat di seberangku, memandangku dengan mata hitam dalam.
Kakek: “Kau tahu kenapa air sungai ini dingin, Nak?”
Beno (pelan): “K-kenapa, Kek...?”
Kakek: “Karena masih menyimpan jasadku di dasarnya.”
Aku membeku. Bibirku bergetar.
Kakek itu tersenyum perlahan, menunjukkan gigi hitam keroposnya.
Kakek: “Dulu aku penjaga sungai ini. Orang-orang datang, merusak, buang sampah, ambil ikan dengan racun. Aku larang, tapi mereka menertawakan aku. Dan suatu malam... mereka mendorongku ke air ini.”
Suaranya berubah berat, menggema seperti dari dalam tanah.
Kakek: “Sejak itu, aku jaga lagi. Tapi bukan untuk airnya — untuk dendamku.”
Tiba-tiba, dari dalam air muncul tangan-tangan pucat yang menarik kakiku.
Aku menjerit dan mencoba berdiri, tapi lumpur di bawah batu seakan menahanku.
Kakek itu menatapku tanpa ekspresi.
Kakek: “Sekarang giliranmu jaga sungai ini.”
Umpan masih utuh, tapi batu tempat aku duduk penuh bekas goresan kuku dan lumpur hitam.
Orang-orang bilang, malam itu hujan deras turun. Tapi anehnya, air sungai tidak meluap sama sekali.
Dan di bawah bambu besar, mereka melihat bayangan sosok tua berdiri menatap air, seperti mengawasi sesuatu.
Sampai hari ini, siapa pun yang memancing di Sungai Petung malam-malam selalu mendengar suara batuk tua dan pancing bambu yang menepuk air.
