Di ujung Desa Teluk Wangi, ada sungai yang mengalir tanpa suara.
Airnya tampak biasa di siang hari — tapi bila senja turun, riak kecilnya seperti bernafas, seolah hidup.
Orang tua di desa percaya, di balik kedalaman air itu, bersemayam penguasa gaib berbentuk buaya putih yang disebut Buyut Banjaran.

Daftar

Sungai itu menjadi saksi banyak hal — termasuk kisah tentang Melati, si Bunga Desa yang cantiknya seperti cahaya di air yang tenang.


Melati selalu mencuci di tepi sungai setiap sore.

Ia tak pernah takut, meski banyak yang melarang.
Hingga suatu hari, bunga melati segar mengapung di depannya, bergerak pelan melawan arus — seperti menantang.

Ia tersenyum dan meraihnya.
Sejak saat itu, sesuatu berubah.

Malam-malamnya dipenuhi mimpi tentang seorang lelaki berpakaian putih, bermata tajam dan berwajah tenang.
Dalam mimpinya, ia memanggil nama Melati dengan lembut.
Suara itu seperti air, mengalir ke dalam jiwanya.

Lelaki itu: “Aku dari sungai yang sama tempat kau membasuh wajahmu. Air yang kau sentuh, adalah kulitku. Datanglah saat bulan penuh — biar aku tunjukkan tempatmu yang sejati.”


Malam itu, purnama menggantung sempurna di langit.

Angin mati.
Air sungai memantulkan cahaya seperti cermin raksasa.

Melati keluar diam-diam dari rumah, langkahnya ringan seperti dituntun.
Ia berjalan menuju sungai, mengenakan kebaya putih tipis dan bunga melati di rambutnya.
Dari balik kabut, sosok pria itu muncul — Raden Surya, sang penjaga sungai, yang sejatinya adalah siluman buaya putih dalam rupa manusia.

Melati: “Aku datang seperti yang kau minta…”
Raden Surya: “Kau sudah dipilih, Melati. Dunia manusia bukan lagi untukmu.”

Ia menatapnya dalam-dalam, lalu mengulurkan tangan.
Begitu jari mereka bersentuhan, permukaan air meledak pelan, menelan cahaya bulan dan menenggelamkan keduanya ke dalam arus yang gelap.


angkerasia


Melati membuka mata.

Yang ia lihat bukan lagi permukaan bumi, melainkan dunia di bawah air — penuh cahaya kehijauan, kabut lembut, dan bentuk-bentuk bayangan yang melayang seperti roh.

Di depan sana berdiri singgasana batu besar, di atasnya duduk seekor buaya putih raksasa dengan mata seperti bulan, bersinar tenang tapi mengerikan.

Dari tubuh buaya itu, perlahan muncul sosok Raden Surya.
Ia menghampiri Melati, dan berkata:

Raden Surya: “Kini kau tahu tempatmu. Kau bukan lagi manusia. Kau akan menjaga sungai bersamaku.”
Melati (gemetar): “Tapi tubuhku... kenapa dingin sekali?”
Raden Surya: “Karena darahmu sudah menjadi air, dan jiwamu sudah jadi penunggu aliran ini.”

Air di sekitar Melati berputar cepat, membentuk pusaran besar.
Kulitnya berubah pucat kebiruan, matanya menajam, dan dari punggungnya muncul pola sisik keperakan.
Ia menjerit — tapi suaranya tak keluar, hanya gelembung udara yang naik ke permukaan.

Ketika pusaran berhenti, yang tersisa hanyalah seekor buaya putih muda yang berbaring di depan singgasana, menatap sosok Raden Surya dengan mata yang sama — mata Melati.


Desa Teluk Wangi tak pernah menemukan jasad Melati.

Tapi sejak malam itu, dua bayangan buaya putih sering terlihat berenang berdampingan di sungai pada bulan purnama.
Kadang, di permukaan air, tampak sehelai kain kebaya putih mengapung perlahan, lalu tenggelam lagi seperti ditarik dari bawah.

Warga percaya, Melati kini menjadi siluman air, permaisuri Buyut Banjaran — pengantin abadi yang menjaga sungai dan menuntut korban dari mereka yang berani mandi di bawah cahaya bulan.

“Jika malam purnama kau mendengar suara perempuan tertawa dari sungai, jangan menatap airnya... karena yang tersenyum padamu bukan manusia.”