Daftar

Langit sore itu berwarna jingga keunguan. Angin bertiup lembap, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Di ujung gang kecil, tiga pemuda — Rafi, Bima, dan Tegar — sudah berdiri sambil menggenggam kantong plastik berisi kelereng warna-warni.

Rafi: “Buruan, sebelum magrib! Main dulu bentar di lapangan.”

Bima: “Lapangan deket rumah kosong itu? Nggak salah?”

Tegar: “Udah, ah. Katanya cuma gosip, nggak usah takut.”

Tawa mereka pecah ringan. Tapi di balik tembok gang, terlihat samar bayangan rumah tua — catnya terkelupas, jendela pecah, dan atapnya separuh runtuh. Rumah itu sudah belasan tahun tak dihuni.


Permainan Menjelang Magrib



Mereka bertiga jongkok membentuk lingkaran di tengah lapangan kecil yang ditumbuhi ilalang. Suara kelereng beradu klik... klik... klik... memantul di udara sore.

Waktu berjalan cepat. Langit kini berwarna ungu tua, dan burung-burung mulai pulang ke sarangnya.

Bima: “Eh, udah jam berapa? Kok sepi banget ya?”

Tegar: “Belum magrib, main sekali lagi aja.”

Rafi: “Nih, ronde terakhir. Yang kalah traktir es teh!”

Rafi memutar kelereng birunya — kelereng favorit yang sudah ia simpan sejak kecil. Ia melemparnya sedikit lebih kuat... TING!

Kelereng itu terpental jauh, melewati batas lapangan dan masuk ke halaman rumah kosong di sebelahnya.

Rafi: “Waduh... masuk situ lagi. Gue ambil dulu bentar.”

Bima: “Udah, Fi! Besok aja, udah mau magrib!”

Tegar: “Udah, jangan lama-lama.”

Namun Rafi tidak mendengarkan. Ia melangkah pelan mendekati rumah itu, sementara dua temannya saling pandang, lalu iseng kabur pulang tanpa bilang-bilang.

Bima (berbisik): “Kita tinggal aja, biar panik, hahaha.”

Tegar: “Wah, seru nih. Ayo!”

Rafi tak tahu ia sudah sendirian.


Rumah Kosong yang Bernafas

Langkah Rafi berhenti di depan pagar berkarat. Ia menunduk mencari kelerengnya yang menggelinding di antara rumput liar. Udara di sekelilingnya mulai dingin, tak ada suara jangkrik, tak ada angin.
Hanya sunyi.

Rafi (berbisik): “Nah, ketemu juga.”

Ia menggenggam kelereng biru itu. Tapi sebelum berbalik, ada bunyi “cekrek” dari arah rumah. Jendela di lantai dua tiba-tiba menutup sendiri.

Rafi menatap ke arah itu — dan di balik kaca jendela, tampak sosok seseorang berdiri, tubuhnya kurus, wajahnya samar.

Rafi: “Bim...? Teg...? Lo ngikutin gue, ya?”

Tak ada jawaban.
Hanya daun kering yang berjatuhan pelan.

Dengan sedikit gemetar, Rafi berlari kembali ke lapangan — mengira temannya menunggu di sana.


Teman yang Bukan Teman

Langit sudah gelap. Adzan magrib baru saja berkumandang sayup-sayup.
Di tengah lapangan, Rafi melihat siluet seseorang sedang jongkok, posisi tubuhnya sama seperti tadi. Ia tersenyum lega.

Rafi: “Halah, gue kira kalian kabur. Nih, kelerengnya udah nemu!”

Sosok itu tidak menjawab. Kepalanya menunduk, rambutnya panjang menutupi wajah.

Rafi: “Bim...? Teg...? Hei, kenapa diem aja?”

Perlahan, sosok itu mengangkat kepalanya.
Dan di balik rambut panjangnya — bukan wajah manusia.
Kulitnya pucat membiru, matanya hitam legam, dan senyumannya panjang, membelah pipi sampai ke telinga.

Sosok itu (suara berat): “Main lagi, Fi... Sekali lagi aja...”

Rafi tertegun, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mundur selangkah, tapi kakinya seakan menancap di tanah.
Kelereng biru di tangannya bergetar, lalu tergelinding sendiri ke arah sosok itu.

Sosok itu jongkok, memungutnya, lalu menyodorkannya kembali dengan tangan pucat kehijauan.

Sosok itu: “Giliranmu...”

Dan tiba-tiba, seluruh lapangan diselimuti kabut tipis, terdengar suara kelereng beradu dari berbagai arah.
Rafi menutup telinga — tapi suara itu justru muncul dari dalam kepalanya.

Rafi (berteriak): “AAAAAARGHHH!!!”


Jeritan dari Lapangan

Warga bernama Pak Hasan yang hendak ke masjid berhenti karena mendengar jeritan memecah senja. Ia menyorotkan senter ke arah lapangan.
Cahaya kuning itu memperlihatkan Rafi berdiri kaku, matanya terbelalak, bibirnya komat-kamit.

Rafi (suara serak berganda): “AKU UDAH MAIN... SEKARANG GILIRAN KALIAN...”

Pak Hasan membaca ayat kursi keras-keras. Rafi jatuh ke tanah, tubuhnya kejang, dan dari genggamannya tergelincir kelereng biru yang pecah, mengeluarkan cairan hitam pekat.


Permainan yang Tak Pernah Selesai

Keesokan harinya, warga menutup lapangan itu dengan pagar bambu. Tak ada yang berani lewat.
Bima dan Tegar menangis saat tahu Rafi kesurupan malam itu.

Dan sejak hari itu, setiap menjelang magrib, dari arah rumah tua itu sering terdengar suara kelereng beradu pelan... disertai tawa kecil anak-anak.

Mereka bilang, hantu di rumah itu suka bermain — tapi hanya dengan yang lupa waktu.