Namaku Rian. Aku mahasiswa semester lima di sebuah universitas negeri di Jawa Tengah.
Rutinitasku sederhana: kuliah, nongkrong di kantin, dan pulang ke kos saat sore menjelang malam. Tapi semuanya berubah sejak aku bertemu Ayu.
Hari itu, kampus sedang sepi. Banyak teman sudah pulang karena hujan turun sejak siang. Aku memutuskan menunggu reda di kantin belakang — kantin yang jarang dikunjungi, tapi masakannya paling enak menurutku.
Ketika aku masuk, kulihat ada seorang gadis duduk di pojok, sendirian. Ia mengenakan baju putih dengan rambut panjang terurai. Hujan menetes di balik jendela di sampingnya, dan uap hangat dari semangkuk mie rebus mengepul di depannya.
Ayu (tersenyum tipis): “Kamu sendirian juga?”
Rian: “Iya, hujan, males pulang.”
Ayu: “Duduk aja sini... biar gak dingin.”
Senyumnya lembut, tapi ada sesuatu yang aneh — matanya teduh, tapi dalam sekali.
Seolah menatap lebih jauh dari sekadar wajahku.
Pertemuan demi Pertemuan
Sejak malam itu, aku jadi sering ke kantin belakang. Kadang hanya untuk makan, kadang karena ingin melihat Ayu.
Ia selalu duduk di kursi yang sama. Selalu dengan semangkuk mie rebus di depannya. Dan entah kenapa, tak ada orang lain di sana setiap kali aku datang.
Kami sering mengobrol — dari hal ringan sampai yang aneh-aneh.
Kadang dia bercerita tentang tempat asalnya. Katanya, dia tinggal di sebuah desa kecil bernama Desa MK, sekitar dua jam perjalanan dari kota.
Ayu: “Di sana sepi, tapi aku suka... orang-orangnya ramah. Dulu aku punya warung kecil. Tapi udah lama tutup.”
Rian: “Kenapa tutup?” Ayu: “Karena... gak ada yang mau datang lagi.”
Aku pikir dia hanya bercanda, jadi aku tertawa. Tapi Ayu hanya menunduk, mengaduk mie-nya perlahan.
Suatu malam, sekitar pukul sembilan, aku menerima pesan darinya:
“Rian, aku pengen ketemu. Datang ke kantin ya, tapi sendiri.”
Aku sempat bingung — kantin kampus harusnya sudah tutup jam tujuh. Tapi entah kenapa, aku merasa harus datang.
Langit malam itu redup, tanpa bulan, dan jalan menuju kantin terasa lebih panjang dari biasanya.
Ketika sampai, pintu kantin terbuka sedikit, dan dari dalamnya keluar aroma mie rebus yang harum.
Lampunya menyala kuning redup, dan Ayu sudah duduk di tempat biasa, menungguku.
Ayu: “Kamu datang juga...”
Rian: “Iya, tapi ini... kok kantin buka?”
Ayu: “Untuk kita aja.”
Mie Itu...
Kami berbicara seperti biasa. Ia menatapku dengan lembut, dan sesekali menunduk malu.
Aku merasa nyaman.
Hingga akhirnya, ia mendorong semangkuk mie ke arahku.
Ayu: “Kamu belum makan, kan? Nih, aku buatin.”
Aroma mie itu menggoda. Uapnya hangat. Aku menyendok dan mulai makan perlahan.
Gigitan pertama... terasa aneh.
Gigitan kedua... lidahku seperti menyentuh sesuatu yang dingin, lembek, dan menggeliat.
Aku berhenti. Memandang isi mangkuk itu — mie itu bukan mie.
Isinya cacing tanah basah, menggeliat pelan di antara kuah kecokelatan.
Aku tertegun, tubuhku gemetar.
Saat itu pula, Ayu tertawa pelan — suara tawanya berubah serak dan dalam.
Ayu: “Enak, kan, Rian...?”
Kursi di sekeliling mulai bergoyang sendiri, lampu berkelip.
Aku mundur perlahan, dan saat aku menatap wajahnya — rambutnya terurai panjang, kulitnya pucat, dan matanya hitam legam tanpa bola mata.
Ayu: “Kamu tau, kan? Aku cuma pengen teman makan...”
Bukan kantin lagi.
Yang kulihat hanyalah gubuk reyot di tengah ladang, dengan atap bolong dan tembok bambu lapuk.
Di sekelilingnya — sunyi. Tak ada cahaya, tak ada suara kendaraan.
Aku baru sadar, aku bukan di kampus.
Aku berada di Desa MK, desa yang pernah disebut Ayu.
Aku jatuh berlutut, tubuhku lemas.
Di tangan kiriku, masih kugenggam mangkuk itu... berisi cacing yang kini mati mengering.
Cinta yang Salah Tempat
Beberapa hari setelahnya, aku menceritakan kejadian itu pada teman-teman kos.
Salah satu dari mereka menatapku ngeri dan berkata,
“Desa MK itu udah gak ada penghuninya, Yan. Dulu ada perempuan bunuh diri di warung mie depan sawah... Namanya Ayu.”
Sejak saat itu, aku gak pernah berani makan mie rebus malam-malam lagi.
Tapi kadang, saat hujan turun dan aku lewat dekat kampus, tercium aroma mie hangat dan melati.
Dan di kaca kantin yang kosong... tampak bayangan perempuan berambut panjang duduk sendirian.
“Rian... aku masakin lagi, ya?”