Di sebuah kecamatan tua di pesisir Kalimantan Timur, berdiri ladang minyak kecil peninggalan zaman Belanda.

Daftar

Sejak dahulu, tempat itu dikenal sebagai “Tanah Hitam” — karena setiap sentuhan tanahnya meninggalkan bekas minyak di tangan.

Ladang itu dikelola oleh seorang juragan kaya bernama Haji Malik, atau biasa disebut warga sebagai Juragan Minyak.
Orangnya dermawan di depan umum, tapi di balik senyumannya tersimpan kerakusan.
Ia kerap menipu pekerja, menahan gaji, bahkan mencampur minyak dengan air agar untungnya berlipat.

Warga: “Juragan Malik tuh kaya karena nyolong rejeki orang miskin.”
Yang lain menjawab lirih: “Rejeki kotor gak bakal lama umurnya...”

Mereka tak tahu, doa itu akan menjadi kenyataan — dengan cara paling mengerikan.


Suatu malam di bulan Agustus 1953, ladang minyak Juragan Malik terbakar hebat.

Api menjulang tinggi, langit memerah, dan suara teriakan menggema di udara.

Warga yang datang melihat gudang penyimpanan minyaknya meledak.
Tapi yang lebih mengerikan — Haji Malik terkunci di dalam.

Seorang saksi: “Dia teriak minta tolong, tapi gak ada yang berani buka pintu. Takut ledakan susulan.”

Konon, sebagian warga justru menahan diri — mereka tahu kebakaran itu akibat ulahnya sendiri.
Dan di tengah kobaran api, suara Juragan Malik terakhir kali terdengar:

“Aku gak akan pergi sendirian... aku tarik kalian semua ke tanah minyak ini!”

Malam itu, api baru padam menjelang subuh.
Yang tersisa hanyalah aroma gosong dan tanah hitam beruap panas, seperti bara yang tak mau padam.


angkerasia


Tahun berganti, ladang minyak itu ditinggalkan.

Namun sebuah perusahaan kecil mencoba membangunnya kembali.
Mereka mengirim beberapa teknisi untuk survei lokasi — termasuk Rian, seorang operator pengeboran muda.

Mandor: “Hati-hati, ya. Dulu ini tempat kebakaran besar. Banyak yang bilang tanahnya dikutuk.”
Rian (tertawa): “Ah, masa iya. Kutukan gak bisa matiin mesin bor, Pak.”

Sore itu, langit mendung. Angin membawa bau aneh — percampuran antara minyak mentah dan daging terbakar.
Rian menyalakan alat pendeteksi gas, tapi angka di layar melonjak tanpa sebab.
Tiba-tiba tanah di dekatnya memercik cairan hitam pekat seperti darah.

Rian: “Pak, ini bocor atau apa?”
Mandor: “Gak mungkin, kita belum bor bagian situ...”

Lalu dari dalam genangan minyak itu, muncul gelembung besar, diikuti suara berat serak seperti seseorang tertawa dalam dada.


Malam harinya, Rian berjaga sendirian di pos.

Lampu petromaks di depannya bergetar tertiup angin, bayangan berlari di antara tong-tong minyak tua.

Saat ia menoleh, tampak sosok pria berpakaian lusuh berpeci hitam berjalan perlahan dari arah bekas gudang.
Tubuhnya gosong sebagian, kulitnya mengelupas, dan minyak menetes dari matanya seperti air mata hitam.
Di tangannya, ia menggenggam botol kecil berisi cairan yang masih menyala samar.

Sosok itu: “Kau... juga mau ambil minyakku?”
Rian (gagap): “S-siapa... siapa kau?”
Sosok itu tersenyum: “Aku... juragan di sini. Tanah ini masih punyaku.”

Udara mendadak panas.
Minyak di tong-tong mulai berdesis.
Dan sebelum Rian sempat lari, api menyala sendiri, menjilat udara, menyalakan bara dari tanah — seperti waktu kebakaran dulu.

Rian berteriak, lalu gelap.


Keesokan harinya, tim pencari hanya menemukan helm Rian yang terbakar, menancap di tanah hitam.

Anehnya, tidak ada jejak api di sekitar — seolah api hanya muncul di tempat dia berdiri.

Sejak itu, setiap malam hujan turun di Tanah Hitam, warga sering melihat bayangan pria berpakaian lusuh membawa lampu minyak, berjalan pelan di antara kabut.
Kadang ia berhenti, menatap tanah, dan berkata dengan suara berat:

“Minyakku... darahku...”

Dan siapa pun yang mencoba menggali tanah itu setelahnya, selalu mengalami hal yang sama:
bau gosong, desis minyak, dan bayangan juragan yang tersenyum dari balik asap.


Baca Juga : Sosok Misterius Bertopi Koboi di Hotel Tua Bekas Kebakaran