Hotel Van de Licht berdiri di ujung jalan tua dekat pelabuhan lama. Bangunannya kusam, catnya terkelupas, dan jendelanya gelap seperti rongga mata kosong.
Aku, Dion, seorang videografer dokumenter, datang bersama dua temanku, Rafi dan Nadia, untuk merekam kisahnya.
Tujuan kami sederhana — membuktikan apakah rumor itu nyata, atau sekadar cerita untuk menakut-nakuti warga sekitar.
Rafi: “Katanya dulu ini hotel elite zaman Belanda, ya?”
Nadia: “Iya. Tapi waktu Jepang masuk, hotel ini dijadiin markas. Banyak yang mati dibakar di ruang bawah tanah.”
Dion: “Selama gak ada yang ngikut pulang, gak masalah lah.”
Tawa kami terdengar kaku di udara sore yang lembap.
Lantainya hitam berdebu. Di dinding, lukisan orang-orang Belanda masih tergantung, separuh gosong karena api.
Lampu senter kami menyorot ke resepsionis tua yang terbakar separuh, dan papan nama lusuh bertuliskan:
“Hotel Van de Licht — 1912.”
Nadia (berbisik): “Kamu denger gak?”
Rafi: “Denger apa?”
Nadia: “Kayak... langkah sepatu dari atas.”
Kami berhenti. Dari lantai dua, memang terdengar bunyi sepatu berat menghentak pelan, tap... tap... tap...
Suara itu bergerak dari satu ujung koridor ke ujung lainnya, teratur, seperti seseorang sedang berpatroli.
Di puncaknya, udara tiba-tiba berubah dingin.
Senter Dion menyorot ke dinding — di sana ada noda merah pekat seperti darah yang baru.
Rafi: “Eh... itu darah beneran gak sih?”
Nadia: “Kayaknya... masih basah...”
Belum sempat kami bicara lagi, cahaya senter menyorot sesuatu di ujung koridor:
Sosok pria bertopi lebar berdiri membelakangi kami, mengenakan jas panjang, tubuhnya tinggi, dan darah mengalir dari pipinya hingga menetes ke lantai.
Dion (pelan): “Pak...?”
Sosok itu berbalik.
Wajahnya hangus di satu sisi, kulitnya meleleh seperti lilin, matanya hitam legam menatap kami tanpa berkedip.
Dari bawah topinya, darah terus menetes, dan senyum lebarnya mengoyak pipi yang terbakar.
Sosok itu: “Kalian... tamu malam ini?”
Suara langkah sepatu tadi kini berubah menjadi derap cepat dari banyak orang.
Suara teriakan, tembakan, dan kobaran api bergema dari segala arah.
Dalam kegelapan, kami seperti ditarik ke masa lalu — lorong hotel berubah menjadi neraka.
Kami melihat bayangan tentara, tawanan, dan api besar melahap dinding.
Di tengah kobaran itu, pria bertopi koboi tadi tertawa, memegang pistol, menembak ke udara sambil berteriak dalam bahasa Belanda:
“Laat het branden! Laat het branden!”
(“Biar terbakar! Biar semuanya terbakar!”)
Dan setelah itu — dunia kembali gelap.
Kamera kami rusak, lensa meleleh seperti disiram panas.
Namun di layar kecil yang masih bisa menyala, ada satu rekaman tersisa:
bayangan pria bertopi koboi menatap ke arah kamera, berdiri di jendela lantai dua.
Wajahnya penuh darah, matanya kosong... tapi di belakangnya, api masih berkobar seperti tak pernah padam.
Nadia: “Kita tadi beneran masuk, kan?”
Dion: “Kalau enggak... kenapa sepatu kita bau asap?”
Saat Jepang datang dan membakar hotel, ia menolak menyerah. Ia menyalakan api sendiri dan menembak semua tamu serta prajurit di dalamnya sebelum ikut terbakar.
Kini, setiap malam Jumat, dari jendela lantai dua hotel Van de Licht, terlihat cahaya merah seperti kobaran api dan bayangan pria bertopi lebar berjalan di dalamnya.
Dan siapa pun yang nekat menatap terlalu lama ke arah jendela itu, akan mendengar bisikan pelan:
“Tamu baru... harus ikut terbakar.”