Namaku Rani.

Aku tidak lupa apa yang terjadi malam itu.
Dan aku tidak akan pernah memaafkan apa yang dilakukan Pak Seno kepadaku.

Daftar

Aku bukan arwah yang tersesat.
Aku arwah yang menunggu saatnya menuntut balas.

Malam itu hujan deras.
Aku sendirian di toko — hanya ada aku dan dia.
Lampu toko berkelip, aroma minyak dan debu bercampur jadi satu.
Ia menatapku dengan mata yang tidak pernah kutaksir akan kulihat seperti itu...
dan setelah semua berakhir, aku hanya merasakan dingin.

Aku sadar di antara gelap dan bau besi karat.
Tanganku kaku, mataku terbuka tapi tak bisa berkedip.
Aku mendengar langkahnya tergesa, napasnya panik.
Aku tahu, ia membungkus tubuhku.
Aku tahu, aku akan dibuang.

“Pak... jangan...”
Tapi suaraku hanya bergema di dalam kepalaku sendiri.

Ia membawaku ke sungai.
Air malam itu dingin dan deras.
Tubuhku tenggelam, tapi hatiku tidak ikut pergi.


Hari-hari pertama setelah kematianku... aku hanya diam.

Aku berdiri di tepi air, menatap toko dari kejauhan.
Aku ingin berteriak, tapi dunia tidak lagi mendengarkanku.

Namun setiap malam, aku merasa amarah itu tumbuh.
Meleleh bersama air, menyusup ke udara, dan merasuk ke dalam mimpi orang yang bersalah.

Aku melihatnya lagi — Pak Seno.
Masih bekerja.
Masih tersenyum di depan pelanggan seolah tak pernah menodai hidup orang lain.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.


angkerasia



Malam pertama aku datang, aku memilih waktu yang sama seperti dulu — setelah toko tutup.

Ia duduk di meja kasir, menulis laporan.
Cahaya lampu neon menimpa wajahnya yang kini tampak tua dan gelisah.

Aku berjalan perlahan dari gudang.
Langkahku tidak menimbulkan suara, tapi udara di sekitarku berubah dingin.
Lampu bergetar.
Pendingin ruangan mati.
Dan di cermin depan meja kasir — wajahku muncul.

Basah, pucat, rambut menempel di pipi, mataku kosong tapi penuh amarah.

Aku berbisik: “Kau pikir aku sudah mati, Pak?”

Ia menoleh cepat, tapi tidak ada siapa-siapa.
Hanya rak barang dan cermin yang retak.
Namun saat ia membungkuk untuk mengambil pena yang jatuh,
ada tangan basah yang menyentuh bahunya.

Ia menjerit.


Setiap malam setelah itu, aku selalu datang.

Kadang aku berdiri di luar toko, di bawah lampu jalan, menatapnya.
Kadang aku berdiri di belakangnya saat ia menghitung uang kas.
Kadang aku memanggilnya dari arah gudang:

“Pak... sini sebentar...”
“Ada yang ingin kubayar...”

Aku suka melihat wajahnya pucat, napasnya tersengal.
Aku suka melihat tangannya gemetar setiap kali pintu toko berderit sendiri.
Itulah keadilan versiku.
Bukan pengampunan, tapi ketakutan tanpa akhir.


Ia mencoba melawan.

Membawa ustaz, membaca doa, memercikkan air ke toko.
Tapi semua itu tidak berarti apa-apa.
Doa hanya bergetar di udara, lalu mati di antara dengung lampu.

Malam itu, hujan kembali turun.
Persis seperti malam saat aku dibunuh.
Ia sendirian lagi, menutup toko, mematikan lampu, dan mengunci pintu.

Tapi kunci itu tidak pernah berfungsi baginya.
Pintu tetap terbuka.
Dan aku berdiri di sana.
Dengan wajah basah, seragam yang koyak, dan mata yang menyala dalam gelap.

Aku: “Kau ingat tempat kau buang aku, Pak?”
Pak Seno (gemetar): “Ampuni aku, Rani...”
Aku: “Aku tidak pernah kau ampuni dulu, kan?”

Ia mundur perlahan.
Tapi setiap langkah yang ia ambil, lantai di bawahnya meneteskan air hitam.
Darahku.
Air sungai tempat aku dibuang.

Aku mendekat, menatapnya, dan menyentuh wajahnya.
Tanganku dingin.
Tapi aku bisa merasakan jantungnya berdetak kencang, seperti dulu aku berjuang bernapas saat air menenggelamkanku.

“Sekarang kau rasakan, Pak...”
“Rasakan bagaimana rasanya tidak bisa lagi bernapas.”

Lampu toko pecah.
Udara menggelegar.
Dan di tengah hujan deras, suara jeritannya menembus malam.


Keesokan harinya, warga menemukan Pak Seno tergeletak di dalam toko, wajahnya pucat, matanya membelalak.

Mulutnya terbuka seolah sedang berteriak.
Dan anehnya — lantai di sekelilingnya basah seperti habis disiram air sungai.

Sekarang toko itu tutup.
Tapi kadang, orang yang lewat malam hari mengaku mencium bau air amis dari dalam.
Lampu kasir sering menyala sendiri.
Dan di kaca jendela depan, tampak bayangan perempuan berseragam merah, berdiri diam, menatap ke luar.

“Aku tidak ingin hidup kembali...
Aku hanya ingin dia ikut mati bersamaku.”